SEPENGGAL KISAH KEDATANGAN RAJA TOMBOLOTUTU DI KALEKE, SIGI DOLO
KATA PENGANTAR
Penulisan sejarah seorang tokoh
harus melalui penelusuran yang komprehensif dan menyeluruh, sehingga dapat
mengungkap fakta sejarah yang sebenarnya. Pengumpulan data seperti halnya
sejarah perjuangan Raja Tombolotutu tentu tidak lengkap apabila sumber data
yang digunakan tidak berimbang, sekecil apapun informasi yang didapatkan
terutama mengenai keberadaan Raja Tombolotutu di Kaleke harus di konfirmasi
langsung dengan keturunannya atau orang yang pernah berinteraksi langsung
dengan beliau.
Tulisan ini dimaksudkan untuk
menjelaskan tentang siapa sebenarnya Tombolotutu yang ada di Kaleke agar tidak
terjadi kesalahpahaman dan menjadi polemik hingga saat ini. Tulisan ini
berdasarkan fakta yang sebenarnya tanpa tendensi apapun dari kami selaku
keturunan Tombolotutu di Kaleke, semata-mata untuk meluruskan fakta sejarah
yang sebenarnya.
Kaleke,
08 September 2017
Penyusun
|
BAB I
PERISTIWA UJULARI
Awal mula kedatangan Raja
Tombolotutu di Kaleke tentunya tidak terlepas dari peristiwa yang terjadi di
Ujulari atau peristiwa di pegunungan Toribulu. Pengungkapan sejarah tentang
peristiwa di Toribulu yang selama ini telah banyak dibahas oleh para penulis sejarah
menurut kami terlalu di dramatisir dan tidak sesuai dengan fakta yang
sebenarnya terjadi dan penuh kontroversi. Demikian pula halnya dengan laporan
Kolonial Belanda yang tersimpan di Den Haag yang menyatakan bahwa Raja
Tombolotutu telah terbunuh di Toribulu. Laporan tersebut menurut hemat penyusun
dilakukan oleh Kolonial Belanda hanya untuk menyenangkan atasannya di Negeri
Belanda, karena mereka merasa frustasi mengahadapi perlawanan yang dilakukan
oleh Tombolotutu. Senada dengan hal tersebut, informasi yang menyebutkan bahwa
Raja Tombolotutu tewas di tangan pengawalnya sendiri, di ujung keris dan atas
permintaan Beliau sendiri sangat bertentangan dengan jiwa kepahlawanan seorang
Tombolotutu, karena tindakan tersebut sama halnya dengan bunuh diri yang sangat
bertentangan dengan nilai-nilai agama (Islam) yang dianut oleh Tombolotutu.
Peristiwa Ujulari atau peristiwa
Toribulu menurut keterangan dari pelaku sejarah itu sendiri yakni Tombolotutu
yang di ceritakan turun temurun bagi penyusun selaku keturunan Beliau di
Kaleke, bahwa peristiwa tersebut hanyalah sebuah taktik untuk mengelabui
Belanda pada saat itu. Hal ini dilakukan untuk menghindari ancaman Belanda yang
akan membunuh seluruh anggota keluarga Tombolotutu apabila Beliau tidak
menyerahkan diri, sehingga disusunlah siasat untuk memalsukan kematian Beliau
seperti yang dipercaya oleh sebagian orang selama ini, ditambah lagi dengan
laporan Belanda dari Menado tertanggal 14 September Tahun 1901 seperti yang
beredar dewasa ini dikutip dari salah satu koran Belanda De Telegraaf, membuat opini tersebut
mudah untuk dipercayai dan menjadi acuan tentang kematian Beliau. Kalau kita
melihat lebih jauh ke belakang, pecahnya perang moutong diakibatkan oleh
beberapa hal antara lain :
1. Tombolotutu selaku Raja Moutong tidak mau tunduk atau
bekerja sama dengan pihak Belanda yang ingin memonopoli perdagangan di wilayah
kerajaan Moutong.
2. Adanya intervensi Belanda terhadap tahta kerajaan Moutong
yang melantik Daeng Malino secara sepihak sebagai Raja Moutong, membuat Raja
Tombolotutu tersinggung.
3. Semangat Jihad yang merupakan ajaran agama Islam yang
dianut oleh Raja Tombolotutu sehingga Beliau melawan Belanda secara heroik.
BAB II
MENYEMBUNYIKAN IDENTITAS
Perjuangan Raja Tombolotutu melawan
Belanda tidak hanya dilakukan di wilayah Moutong saja, setelah Beliau bersama
pengikut setianya terdesak oleh kejaran pasukan Belanda hingga ke selatan di
wilayah Pantoloan yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Donggala, Beliau
mendapat bantuan dari Raja Banawa yang bernama Lamakagili atau Pue Mpudu.
Setelah beberapa peristiwa yang terjadi di seputaran wilayah Pantoloan yang
ditulis dalam laporan Belanda sebagai tindakan perompakan yang dipimpin oleh
Pua Darawati alias Tombolotutu, Belanda mengadakan penyergapan diwilayah
Pantoloan dan berhasil menangkap Lamakagili yang kemudian di adili di Makassar.
Dalam penyergapan di Pantoloan tersebut, Belanda tidak berhasil menangkap Tombolotutu.
Beliau mengamankan diri masuk ke lembah Palu dan bersembunyi di Kayumalue dan
selama berada di Kayumalue Beliau disambut oleh seseorang yang biasa di panggil
dengan sebutan Toma I Kambera yang menyembunyikan
Beliau dari keberadaan pasukan Belanda.
Setelah situasi dianggap aman,
Beliau melanjutkan perjalan ke arah selatan (Palu) dengan tujuan mengajak Raja
– Raja di lembah Palu untuk melawan Belanda, namun situasi politik di lembah
palu ternyata berbeda. Melanjutkan perjalan ke arah selatan, Beliau memilih
menetap di wilayah Tatanga – Tatura sebagai tempat persembunyian bersama
seorang sahabat Beliau yang bernama Pua
Codai atau Lambakara. Pua Codai
atau Lambakara kemudian menikah di Tatanga, Beliau merupakan salah satu tokoh
yang membantu Raja Tombolotutu dalam perang di wilayah Togean dan Walea
Kepulauan, konon Beliau berasal dari wilayah Tojo Una- Una.
Setelah dari Tatanga – Tatura,
Tombolotutu memilih melakukan perjalanan ke daerah Banawa tepatnya di desa
Towale dan berkenalan dengan salah seorang tokoh masyarakat Towale yang bernama
Toma I Tandere. Toma I Tandere
sendiri pernah datang ke Kaleke di kemudian hari untuk menemui Raja
Tombolotutu, namun saat kedatangannya di Kaleke dikemudian hari, Raja
Tombolotutu telah wafat. Saat bersembunyi di daerah Banawa, Tombolotutu menikah
dengan seorang wanita berdarah bugis bernama Binti, namun Beliau tidak memiliki keturunan. Tidak merasa betah di
Banawa, Raja Tombolotutu kemudian membawa isteri Beliau untuk melakukan
perjalanan ke wilayah Sigi Dolo, dan sempat bermukim di wilayah Hilir sungai
Kinore (Wilayah Desa Sibonu sekarang) dan kemudian berpindah lagi di
Palompalindo dihilir sungai Baluase. Keberadaan Tombolotutu dan isterinya di
Palompalindo terdengar oleh beberapa tokoh masyarakat Kaleke, orang – orang
tersebut mendengar kabar bahwa ada sepasang suami isteri tinggal di hilir
sungai Baluase, didasari kabar tersebut dan rasa ingin tahu maka berangkatlah 4
(Empat) orang tokoh masyarakat kaleke pada saat itu menuju Palompalindo di
wilayah hilir sungai Baluase.
Ke-empat orang tersebut adalah :
1.
Djalirante Dae Matalu ( Beliau adalah anak Ntoliangu,
cucu dari Dae Matalu dimana Dae Matalu adalah anak dari Yaruntasi,
Magau Dolo ).
2.
Ranggepala ( cucu dari Pue Bunggu, salah
seorang tokoh masyarakat Sigampa, Pue Bunggu dalah anak dari Pue Ngilu, salah
satu dari Papitu Toma Langgai Sigampa).
Ranggepala sendiri adalah ipar dari Yalirante.
3.
Laratu Latenriwajo (Toma I Jako), saudara tiri Yalirante.
4.
Ladjura ( Kakek
dari Prof. Dr. Huzaemah Yanggo ), Beliau juga ipar dari Yalirante.
Setelah tiba di Palompalindo, ke-empat orang tersebut
menyaksikan langsung keberadaan sepasang suami isteri yang merupakan Raja
Tombolotutu dan isteri beliau Binti. Merasa iba melihat kondisi sepasang suami
isteri tersebut, ke-empat orang tersebut mengajak agar sepasang suami isteri
tersebut untuk ikut ke Kaleke, namun Raja Tombolotutu memberikan syarat agar
mereka secara teguh menyimpan identitas Beliau yang sebenarnya dan
merahasiakannya kepada orang lain terutama kepada Belanda. Setelah bersumpah
untuk menyimpan rahasia tersebut, maka ke-empat tokoh masyarakat Kaleke bersama
Raja Tombolotutu bersama isteri Beliau berangkat ke Kaleke, kedatangan Raja
Tombolotutu di Kaleke ini sekitar tahun 1906/1907. Dalam pelariannya setelah
lolos dari penyergapan Belanda di Pantoloan, Raja Tombolotutu selalu
menggunakan nama samaran, hal ini tentunya untuk menghindari keberadaan pasukan
Belanda. Bertempat di Kaleke, Raja Tombolotutu lazim dipanggil dengan panggilan
Pua atau Toma I Tandu namun bukan Latandu,
yang merupakan salah satu pengawal Beliau sebagaimana persepsi sebagian
orang. Nama panggilan Pua terbatas pada orang-orang kepercayaan Beliau yang
didasari dengan panggilan gelar Beliau dikenal dengan Pua Darawati. Menurut keterangan yang diceritakan oleh Raja
Tombolotutu, nama Darawati adalah nama anak dari Pawajoi, saudara tiri Beliau.
Keberadaan Raja Tombolotutu di Kaleke dikemudian hari
diketahui oleh Magau Dolo, Datu Pamusu yang menjadi sahabat karib Beliau.
Persahabatan kedua Tokoh ini semakit erat karena kesamaan sikap Beliau berdua
terhadap Belanda. Oleh sahabat-sahabat Beliau di Kaleke, Raja Tombolotutu
disarankan untuk menikah di Kaleke, dikarenakan pernikahan Beliau dengan isteri
Beliau yang bernama Binti tidak dianugerahi keturunan. Raja Tombolotutu
kemudian memilih untuk menikah dengan seorang gadis yang masih sangat muda yang
bernama Darasia, anak dari Malarante dan isterinya Maesandi yang merupakan tokoh adat atau
tokoh masyarakat yang disegani di Kaleke. Dari pernikahan Beliau dengan
Darasia, Raja Tombolotutu dianugerahi empat orang anak, yaitu ;
1. Lamasalindi Tombolotutu
2. Karamalipu Tombolotutu
3. Andi Yetji Tombolotutu
4. Sidik Tombolotutu
Keberadaan Raja Tombolotutu di Keleke mendapat sambutan
hangat dari masyarakat terutama dari kalangan keluarga mertua Beliau dan
keluarga para sahabat-sahabat karib Beliau, terutama dengan keluarga ke-empat
tokoh masyarakat Kaleke yang pertama kali bertemu dengan Beliau, oleh sebab itu
pula maka semua anak Tombolotutu di Kaleke dikawinkan dengan anak-anak para
sahabat Beliau sendiri. Menurut keterangan dari para mantan murid maupun
keturunan para sahabat Beliau, Raja Tombolotutu dikenal memiliki tata kerama
dan tutur kata yang sangat santun sehingga Beliau sangat dihormati dan disegani
oleh masyarakat.
Selama berada di Kaleke, Raja Tombolotutu juga
menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu-ilmu tarekat atau ilmu agama, Beliau
sendiri oleh masyarakat Kaleke dianggap orang keramat atau seorang wali, bahkan
menurut kepercayaan masyarakat Kaleke, makam Beliau di Bulu Langa sering
terjadi keanehan dimana pusara Beliau diwaktu-waktu tertentu berubah ukuran,
kadang bertambah panjang, kadang pula memendek, hal ini berlangsung hingga
menjadi cerita dikalangan masyarakat dan berlangsung sekian lama hingga makam
Beliau di pugar oleh orang-orang yang mempunyai hajat atau nazar, makam Beliau
sendiri berada disebelah Makam Baligau Lasara, seorang tokoh adat / tokoh
masyarakat di Kaleke.
HIJRAH KE TADA
Sekitar Tahun 1916 terjadi
pergolakan politik di Kerajaan Sigi Dolo yang berujung pada penangkapan Raja
Dolo, Datu Pamusu oleh pihak Belanda dan kemudian Beliau diasingkan ke Ternate
Pada Tahun 1917. Melihat situasi yang tidak kondusif ini maka Raja Tombolotutu
memutuskan untuk kembali ke Pantai Timur, bersama isteri (Darasia) dan anak
Beliau yang berumur ± 3 (Tiga) bulan serta di ikuti oleh para kerabat dan
sahabat beliau yang berjumlah ± 20 (Dua Puluh) orang. Keputusan Beliau untuk
kembali ke Pantai Timur karena alasan keamanan sehubungan dengan penangkapan
Datu Pamusu, sahabat Beliau.
Setibanya di daerah Ampibabo, Raja
Tombolotutu mengambil jalur laut karena Beliau tidak mau melewati daerah
Toribulu. Hal ini sempat ditanyakan oleh sahabat Beliau, Ranggepala tentang
alasan Beliau tersebut, Raja Tombolotutu kemudian menjawab bahwa di Toribulu pada
masa lalu pernah terjadi persekongkolan oleh kalangan keluarga Beliau sendiri yang
ingin menangkap dan menyerahkan Beliau kepada pihak Belanda. Akhirnya, dengan
bantuan nelayan setempat, Raja Tombolotutu bersama dengan rombongannya dapat
melanjutkan perjalanan menggunakan perahu dan kemudian berlabuh di muara sungai
Tada. Kedatangan Beliau dan rombongan di Tada disambut oleh masyarakat Tada,
antara lain Mangge Sahya, Mangge Saleh, Mangge Moro dan Baskoi.
Kepulangan Raja Tombolotutu ke
Pantai Timur (Tada) sekaligus dimanfaatkan untuk melepas kerinduannya pada
anak-anak Beliau. Raja Tombolotutu kemudian mengutus beberapa orang masyarakat
Tada untuk memberitahukan kedua anaknya yakni H. Kuti atau Datu Pamusu
dan Daeng Matupu (Daeng Tupu) tentang keberadaan Beliau di
Tada. Daeng Matupu yang pada saat itu bermukim di Walea segera berangkat dan
menemui ayahandanya di Tada. Pada saat perang Moutong berkecambuk, Daeng Matupu
diungsikan ke Walea dikediaman pamannya, Pue
Dalolo atau Makarau, Daeng Matupu
memang sudah mengenal wajah ayahandanya, Tombolotutu. Daeng Matupu kemudian
menetap beberapa bulan di Tada dan turut serta membantu Raja Tombolotutu
menanam pohon kelapa.
Pada saat itu, H. Kuti atau Datu
Pamusu pada mulanya ragu akan ayahandanya, karena sebagaimana cerita yang
beredar bahwa ayahandanya, Raja Tombolotutu sudah meninggal dunia di Toribulu.
Hal ini cukup beralasan, karena pada saat terjadinya peristiwa di Toribulu H.
Kuti masih sangat kecil. Namun untuk membuktikan bahwa yang ada di Tada adalah
Raja Tombolotutu, maka H. Kuti berangkat ke Tada dan bertemu dengan
ayahandanya, setelah mendengar penjelasan secara langsung dari Raja Tombolotutu
dan orang-orang di Tada yang mengenal secara persis Raja Moutong ke-IV ini
barulah Beliau merasa yakin. H. Kuti kemudian berinisiatif membangunkan sebuah
pesanggrahan sebagai tempat pertemuan khusus dengan Ayahandanya. Setelah itu,
hampir setiap minggu, H. Kuti bertemu dengan Raja Tombolotutu.
Haji Kuti atau Datu Pamusu dan Daeng
Matupu merupakan anak Raja Tombolotutu dari isteri berbeda, Ibunda Daeng Matupu
berasal dari Moutong (Sampai saat ini nama Ibunda Daeng Matupu belum diketahui)
sedangkan Ibunda H. Kuti yaitu Pua Pika berasal dari Toribulu.
Keberadaan Raja Tombolotutu di Tada
kemudian terdengar oleh Raja Borman, yang pada saat itu telah di lantik menjadi
Raja Moutong. Untuk membuktikan kebenaran berita keberadaan Raja Tombolotutu,
Raja Borman kemudian mengutus beberapa orang kepercayaannya ke Tada.
Sesampainya di Tada, para utusan ini kemudian memukul gong atau tawa-tawa dengan harapan apabila yang
ada di Tada adalah Raja Tombolotutu, maka beliau pasti akan kenal dengan suara
gong kerajaan yang merupakan suatu tradisi di Kerajaan Moutong bahwa apabila
Raja Moutong datang berkunjung maka dibunyikan gong kerajaan. Tombolotutu yang
notabene adalah Raja Moutong ke – IV sudah pasti kenal dengan segala tradisi di
Kerajaan Moutong, mendengar suara gong maka Raja Tombolotutu segera menuju
pantai. Para utusan Raja Borman yang memang telah mengenal secara persis Raja
Tombolotutu kemudian terkejut melihat kemunculan Raja Tombolotutu, mereka
kemudian memberi penghormatan dan meminta maaf telah membunyikan gong kerajaan.
Pemukulan gong tersebut sebenarnya telah diatur oleh Raja Borman untuk mencari
bukti keberadaan Raja Tombolotutu di Tada.
Para utusan Raja Borman kemudian
segera kembali ke Moutong dan melaporkan bahwa benar yang berada di Tada adalah
Raja Tombolotutu. Mendengar laporan dari orang-orang kepercayaannya, maka Raja
Borman segera berangkat ke Tada dengan di iringi para punggawa Kerajaan
Moutong. Setibanya di Tada, Raja Borman segera menuju ke tempat kediaman Raja
Tombolotutu, namun saat itu Raja Tombolotutu sedang tidak berada ditempat,
sehingga diutuslah beberapa orang untuk memberitahukan kepada Raja Tombolotutu
tentang kedatangan Raja Borman di kediaman Beliau, namun Raja Tombolotutu belum
berkenan bertemu dengan Raja Borman. Mendengar pesan yang disampaikan Raja
Tombolotutu, Raja Borman kemudian kembali ke Moutong bersama rombongannya,
namun ternyata hanya sampai di Maninili, menjelang malam hari, Raja Borman dan
rombongan kembali ke Tada dengan mengambil jalur darat karena keinginan yang
besar untuk bertemu dengan Raja Tombolotutu meski ada penolakan dari Beliau.
Pada malam hari, rombongan Raja Borman tiba di Tada dan langsung ke kediaman
Raja Tombolotutu. Melihat kehadiran adik sepupunya, Raja Tombolotutu hanya bisa
terdiam, karena Raja Borman langsung memeluk Beliau dan menangsi di pangkuan Raja
Tombolotutu sambil meminta maaf. Setelah suasana yang penuh dengan haru
kemudian mereda, Raja Tombolotutu kemudian menyatakan telah memaafkan Raja
Borman, adik sepupunya ini dan kemudian saat itulah terjadi pembicaraan secara
kekeluargaan bahwa kelak, Borman akan menyerahkan kembali tahta kerajaan
Moutong kepada keturunan Tombolotutu.
Pertemuan antara Tombolotutu dan
Borman sungguh suatu peristiwa yang luar biasa, dimana dua orang bersaudara
yang pernah berbeda paham ini dapat bertemu dalam suasana yang damai penuh rasa
kekeluargaan. Tombolotutu, dengan segala kebesaran jiwanya berkenan memaafkan
adik sepupunya walaupun Beliau telah menanggalkan tahta kerajaan Moutong dan
harus berpindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk menghindari keberadaan
pasukan Belanda.
Selain Raja Borman, keluarga Raja
Tombolotutu yang pernah atau bahkan sering datang ke Tada antara lain adalah Puluki Daeng Mapato yang sering
melaporkan situasi Kerajaan Moutong kepada Raja Tombolotutu. Keluarga Beliau
yang pernah datang bahkan turut serta ke Kaleke dikemudian hari adalah orang
tua dari Andi Yetje (Nama Andi Yetje
sengaja dimiripkan dengan nama Raja Tombolotutu, Andi Yetji), keluarga Beliau
ini berasal dari Maninili.
BAB IV
WAFAT DI KALEKE
Setelah beberapa tahun Raja
Tombolotutu bermukim di Tada (± 6 Tahun), pada sekitar tahun 1923 datang berita
duka dari Kaleke bahwa mertua beliau meninggal dunia, maka atas permintaan
isteri Beliau (Darasia), Raja Tombolotutu memutuskan untuk kembali ke Kaleke.
Kepulangan Raja Tombolotutu ke Kaleke disambut gembira oleh murid-murid serta
sahabat-sahabat Beliau, dan atas inisiatif para murid dan sahabat Beliau
dibangunlah sebuah rumah yang cukup besar sebagai tempat kediaman Tombolotutu
(tempat ini biasa disebut Bionga) dan dirumah ini nantinya Raja Moutong ke-IV
meninggal dunia.
Sementara itu, Raja Dolo Datu Pamusu
setelah melewati masa pengasingannya di Ternate akhirnya kembali ke Dolo.
Dengan ditemani oleh Djayalangi (Isteri dari Raja Dolo Datu Pamusu sekaligus
sepupu dari Djalirante Dg. Matalu) serta kedua anak Datu Pamusu, Raja Muda dan
Raja Gunu, Raja Tombolotutu menjemput kedatangan Raja Dolo Datu Pamusu di
Donggala. Persahabatan Tombolotutu dan Datu Pamusu ini terjalin sangat erat
hingga wafatnya Raja Tombolotutu di Kaleke pada Tahun 1938, bahkan oleh Datu
Pamusu prosesi pemakaman Raja Tombolotutu dilakukan sesuai tradisi Kerajaan
Dolo dan beliau dimakamkan berdampingan dengan makam Baligau dan isterinya.
Kehadiran Pua Darawati atau Raja
Tombolotutu di Kaleke telah meninggalkan kesan yang sangat dalam terutama bagi
sahabat – sahabat dan murid – murid Beliau yang pernah belajar ilmu Tarekat. Sekembalinya
Raja Tombolotutu dari Tada, Beliau banyak menghabiskan waktu untuk mengajar
ilmu agama (ilmu tarekat), dan oleh masyarakat Kaleke Beliau lazim dianggap
sebagai seorang Wali atau orang keramat, hal ini terbukti hingga saat ini makam
Beliau masih dikeramatkan. Tombolotutu juga pernah mendapatkan kunjungan dari
Imam Lapeo, seseorang yang juga sangat terkenal kekeramatannya dari tanah
Mandar, konon antara Tombolotutu dan Imam Lapeo masih punya hubungan
kekerabatan. Dalam perjalananannya di wilayah Kerajaan Dolo ini, Tombolotutu
bersama sahabatnya Ranggepala yang merupakan keturunan langsung salah satu
legenda Papitu Toma Langgai Sigampa juga menjadi pelopor terbentuknya desa
Rarampadende yang merupakan pemekaran dari Desa Kaleke.
Suatu hari di usia Beliau yang
semakin uzur, menjelang wafatnya, Raja Tombolotutu meminta anaknya yang bernama
Lamasalindi untuk menuliskan 4
(empat) nama, yaitu;
1. Massu (Ayah Tombolotutu, Raja Moutong ke III)
2. Lara (Ibunda Tombolotutu)
3. Tombolotutu (Nama Beliau)
4. Pa’ (Adik Tombolotutu yang wafat akibat serangan pasukan
Belanda di Moutong).
Dengan berlinang airmata, Raja Moutong ke-IV ini
menjelaskan satu persatu nama – nama tersebut kepada anaknya, inilah yang
menjadi pegangan keturunan Tombolotutu di Kaleke dan sebagai bukti bahwa
Tombolotutu yang ada dikaleke adalah Tombolotutu Raja Moutong ke – IV atau Pua
Darawati, hal ini juga merupakan sanggahan atas anggapan sebagian orang yang
menyatakan bahwa Tombolotutu di Kaleke merupakan bagian dari 7 (Tujuh) atau
Papitu Toma Langgai atau Tadulako dari Sigampa karena faktanya tidak ada Toma
Langgai yang dimaksud bernama Tombolotutu dan zaman antara legenda Toma Langgai
yang dimaksud dengan Tombolotutu berbeda jauh, ataupun anggapan bahwa
Tombolotutu di Kaleke adalah anak dari salah satu Toma Langgai yang membantu
Tombolotutu saat perang Moutong dan namanya disamakan dengan Tombolotutu adalah
tidak masuk akal dan cerita yang dibuat-buat, karena Ranggepala sahabat
Tombolotutu di kaleke dan salah satu dari 4 (Empat) tokoh masyarakat Kaleke
yang menjemput Beliau di Palompalindo merupakan generasi ke 3 atau cicit dari
salah satu legenda Toma Langgai Sigampa yang bernama Pue Ngilu, maka
disimpulkan bahwa Tombolotutu yang ada di Kaleke tidak mempunyai hubungan
apapun dengan Legenda Papitu Toma Langgai Sigampa karena zaman Toma Langgai
dengan perang Moutong sangat jauh interval waktunya.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan uraian singkat pada Bab
– Bab sebelumnya jelaslah bahwa Tombolotutu atau Pua Darawati, atau oleh sebagian
masyarakat biasa juga menyebut Toma
I Tandu yang datang ke Kaleke serta wafat dan di kebumikan di Kaleke adalah
Tombolotutu yang berasal dari Moutong dan merupakan Raja Moutong ke-IV. Beliau
datang dan bermukim di Kaleke dalam pelarian Beliau dari pasukan Belanda.
Menurut keterangan yang disampaikan oleh Sahiri atau Toma As kepada penyusun
pada tahun 1987 di Tada seperti yang dipaparkan pada bab sebelumnya, jelaslah
bahwa H. Kuti Tombolotutu telah mengetahui dan mengakui tentang keberadaan
Ayahandanya di Kaleke, akan tetapi hingga saat ini beberapa keturunan H. Kuti
Tombolotutu masih berbeda pendapat. Menanggapi hal tersebut, penyusun selaku
keturunan Tombolotutu beserta keluarga besar di Kaleke tidak mengharapkan
pengakuan dari pihak-pihak yang berbeda pendapat, karena penyusun selaku
keturunan Tombolotutu berpendapat bahwa keturunan Tombolotutu bukan hanya H.
Kuti Tombolotutu seorang dan keturunan Tombolotutu di Kaleke mempunyai bukti
tentang hal ini berdasarkan cerita dan fakta yang ada pada mereka. Dewasa ini
dengan gencarnya ketertarikan generasi muda akan sejarah dan tokoh-tokoh
pejuang khususnya yang intens akan penulisan sejarah Tombolotutu diharapkan
jangan sampai ada pengkaburan sejarah atau kemudian mengacuhkan data yang ada
di Kaleke, karena hal ini menyangkut profesionalisme dan garis keturunan
seseorang.
Pada Tahun 1985, salah seorang
menantu dari Abdul Madjid Tombolotutu yaitu
Edy Rumambi telah datang ke Kaleke untuk
mengkonfirmasi hal ini, namun dalam tulisannya tentang sejarah perjuangan Raja
Tombolotutu, Edy Rumambi tidak mencantumkan data mengenai keberadaan Raja
Tombolotutu di Kaleke, padahal Edy Rumambi begitu intens datang dan mewancarai
keturunan Tombolotutu di Kaleke bahkan merasa seperti saudara sendiri
dikarenakan para keturunan Tombolotutu di Kaleke menyambut Beliau dengan rasa
persaudaran, namun dari hasil tulisan Edy Rumambi penyusun berkesimpulan bahwa Edy Rumambi tidak profesional dalam
mengungkap setiap data dan fakta sejarah.
Tahun 1994 salah seorang penulis
sejarah yaitu Sofyan B. Kambay juga
telah datang ke Kaleke untuk menelusuri informasi tentang keberadaan Raja
Tombolotutu di Kaleke dan di Tada, namun menurut pernyataan Beliau kepada
penyusun dan keturunan Tombolotutu di Kaleke, ada upaya dari Edy Rumambi yang mengintervensi Sofyan B. Kambay agar tidak
memasukkan data yang diperoleh Beliau dari Kaleke. Pada saat Sofyan B. Kambay
wafat sekitar Tahun 1999, naskah tentang perjuangan Tombolotutu yang didalamnya
terdapat data dan fakta tentang keberadaan Raja Tombolotutu di Kaleke tersebut
diambil oleh salah satu keturunan Raja Tombolotutu yang identitasnya tidak ingin penyusun cantumkan, berita ini telah
dikonfirmasi penyusun kepada anak Almarhum Sofyan B. Kambay.
Berdasarkan kejadian-kejadian seperti yang penyusun paparkan diatas dapat
disimpulkan bahwa ada upaya-upaya untuk menutupi keberadaan keturunan
Tombolotutu di Kaleke, dan penyusun selaku keturunan Tombolotutu di Kaleke
menegaskan bahwa keturunan Tombolotutu di Kaleke sama sekali tidak pernah
mengharapkan pengakuan dari pihak manapun.
Pada tahun 2012, salah seorang
penulis sejarah yang bertugas pada Dinas Sosial Kabupaten Parigi Moutong
bernama Rusli, S.Sos juga telah datang ke Kaleke untuk melengkapi data tentang
penulisan sejarah perjuangan Tombolotutu, Beliau cukup intens datang ke Kaleke.
Namun, belum rampung data yang beliau susun, kabarnya yang bersangkutan telah
pindah tempat bertugas, namun draf yang Beliau susun sempat diserahkan sebagai
pegangan bagi keturunan Tombolotutu di Kaleke meski draf tersebut masih butuh
penyempurnaan.
Bagi penyusun, diluar konteks
sebagai keturunan Tombolotutu di kaleke merasa bahwa sungguh sangat naif jika
seseorang yang datang di Kaleke hanya mengaku-ngaku sebagai Tombolotutu dan
mencatut nama Tombolotutu yang merupakan pejuang dan Raja Moutong. Kedudukan
Raja dari seorang Tombolotutu bukanlah menjadi kebanggaan bagi keturunan Tombolotutu
di Kaleke, namun yang dipegang teguh adalah bahwa penyusun dan keluarga besar
di Kaleke juga merupakan darah daging Tombolotutu, dan sikap ini akan
dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat.
Terkait dengan tulisan maupun
informasi yang berasal dari saudara Daeng
Mangesa Datu Palinge, penyusun jelaskan bahwa saudara Daeng Mangesa tidak pernah berinteraksi langsung dengan Tombolotutu
di Kaleke, sehingga penyusun berkesimpulan bahwa Daeng Mangesa menulis sejarah
sesuai persepsi dan tendensi pribadi, data tentang kematian Tombolotutu juga
bertentangan dengan Laporan Belanda, dan cerita Toma Langgai seperti yang telah
dijelaskan pada Bab sebelumnya sudah sangat jelas sangat bertentangan dengan
fakta karena ada perbedaan rentang waktu yang sangat jauh antara cerita Papitu Toma Langgai Sigampa dengan
peristiwa Perang Moutong. Tulisan dan informasi dari saudara Daeng Mangesa
telah mengusik keturunan Tombolotutu di Kaleke.
Demikian sepenggal kisah tentang
keberadaan Raja Motutong ke-IV yaitu Tombolotutu atau Pua Darawati di Kaleke,
tulisan ini disusun berdasarkan data dan fakta yang ada untuk meluruskan
sejarah yang sebenarnya sekaligus sebagai jawaban atas persepsi maupun
tulisan-tulisan tentang sejarah perjuangan Raja Tombolotutu selama ini. Kepada
para pemerhati sejarah ataupun penulis sejarah, penyusun selaku keturunan
Tombolotutu di Kaleke berharap kiranya dapat mengungkapkan fakta sejarah secara
objektif dan komprehensif tanpa tendensi, intervensi ataupun tekanan untuk
kepentingan tertentu, sehingga tidak terjadi ke-simpangsiuran informasi dalam
penulisan sejarah Raja Tombolotutu. Sekecil apapun data yang ditemukan harap
dijadikan bahan untuk penelusuran lebih jauh, sehingga membuat sejarah hanya
menjadi sekedar opini belaka yang dipertentangkan dalam setiap diskusi,
referensi kosong untuk tugas-tugas kuliah, pengantar tidur dikolom-kolom media
sosial, bahkan pembicaraan hangat diwarung kopi. Penyusun berpendapat bahwa setiap kita tidaklah hidup
dizaman tokoh-tokoh tersebut, dimana para saksi hidup satu-persatu telah wafat,
namun jangan sampai kebenaran semakin tenggelam oleh sejarah itu sendiri.
Kaleke,
08 September 2017
Penyusun
|
INFORMAN
1. Bapak Sahiri atau Toma As (Almarhum), domisili terkahir
di desa Tada. Beliau yang memberikan informasi seputar kedatangan H. Kuti
Tombolotutu, Daeng Matupu Tombolotutu, dan Puluki Daeng Mapato di Tada untuk
bertemu Raja Tombolotutu.
2. Andi Yetji Tombolotutu dan Sidik Tombolotutu, anak
kandung Tombolotutu yang masih hidup di Kaleke.
3. Mahmud Dae Matalu (Almarhum) dan Palipu Dae Matalu
(Almarhum), anak kandung Djalirante Daeng Matalu, sahabat Tombolotutu di
Kaleke.
4. Moh. Saleh anak dari Ranggepala, ayah beliau adalah
sahabat Tombolotutu di Kaleke.
5. Solu Tandaboya (Almarhum), mantan murid dari Tombolotutu
di Kaleke.
6. Daesia Laratu Latenriwajo, suaminya adalah Karamalipu
Tombolotutu, anak ke II (dua) Tombolotutu di Kaleke, ayah beliau adalah sahabat
Tombolotutu di Kaleke.
7. Halim Lawadju (Almarhum)
8. I Jajalangi (Almarhumah) isteri dari Magau Dolo, Datu
Pamusu.
9. Djadrin Tombolotutu, putra dari Lamasalindi Tombolotutu
anak ke-I (Pertama) Tombolotutu di Kaleke.
Stainless Steel vs Titanium Apple Watch
BalasHapusIf you're just looking for 오즈포탈 a new titan metal stainless steel watch you have titanium shaver come to is titanium a conductor the right place. The stainless steel ford fusion titanium 2019 and stainless steel are all crafted to deliver